Cerpen: Riz Koto
Suara Karya
Minggu, 27 Mei 2007
Malam sebenarnya sudah amat larut, setengah dua malam menjelang pagi, di perempatan lampu merah Tol Timur Bekasi. Dingin menjelang subuh itu jelas menusuk hingga ke tulang. Meski aku tidak merasakannya, karena dibatasi dinding metal bercat mewah buatan Jepang dan kaca tembus tiga puluh persen, aku sungguh bisa membayangkan dinginnya malam itu.
Namun, bocah kecil dengan baju kumuh yang menempel seadanya di tubuh ringkihnya di seberang jalan, yang tiba-tiba tergopoh-gopoh berlari ke arah mobil yang aku tumpangi, pasti merasakan benar tusukan dingin itu. Tapi ia tampak tak peduli.
Ketika kami berhenti karena lampu merah di perempatan itu menyala, gadis kecil dengan rambut tak terurus itu lekas bergerak ke arah kami. Matanya, dengan kantuk menggelayut berat di pelupuknya, tak lepas dari mobil yang aku tumpangi di urutan terdepan jalur lampu merah itu. Seberkas cahaya tampak membayang di sana
Ringan ia berlari ke samping sopir, temanku, yang menyetir di balik kaca gelap tiga puluh persen. Tanpa aba-aba dan basa-basi apa pun ia memulai aksinya. Tapi, sigap pula temanku mengangkat tangan, melambai ringan memberi tanda. Namun, entah kenapa, fokus mataku terus tersedot kuat ke wajah gadis kecil.
Wajah dingin dan kesal temanku makin kuat manakala gadis kecil terus memainkan kecreknya dengan lagu dangdut rupa-rupa, dengan suara lemah. Dan memang, jangankan keindahan yang terdengar, justru nada sumbang yang berkencrengan.
"Ngapaain... ada tu.. yang mengomandoi," pelan, terdengar temanku yang berwajah dingin kesal bergumam. Mendengar itu, satu sudut hatiku langsung protes. Namun, itu hanya suara salah satu sudut hatiku yang lemah. Dan sudut-sudut hatiku yang lain mendiamkan komentar temanku yang saklek, bahkan cederung menyetujuinya. "Iya... uang yang kita berikan bukan untuk dia!" Konyol, aku menyetujui temanku.
Berkali-kali temanku melambai lagi, hingga akhirnya gadis kecil berbadan ringkih yang mencoba bertahan akhirnya berbalik pelan dan pergi membawa kecewa setelah beberapa saat sempat merapatkan wajahnya ke kaca jendela sembil memagarinya dengan kedua telapak tangannya, seolah meneropong kami di dalam yang kesal, cukup lama--yang membuat temanku benar-benar kesal.
Namun, dalam kepergian itu si gadis kecil sempat menoleh (seolah) memandang kami sebentar--dan berkata entah apa--tanpa menghentikan langkahnya. Duummm! Saat itulah wajah itu, kekecewaan itu, kesedihan itu, tambak bagiku begitu memelas, dan serasa tak asing, bagai pernah kukenal.
Aneh, di wajah itu kurasakan ketakutan. Bukan kesal, bukan pula mengumpat sebagaimana sempat kukira tadi. Pelan-pelan hatiku ciut, mendingin seperti dirasuki uap es ke seluruh relungnya. Dan perasaan cemas menyergap. Jangan-jangaan....
Air bah penyesalan tiba-tiba menghantamku, atas apa yang aku tidak lakukan: sekadar melemparkan recehan yang sebenarnya tak banyak artinya bagi kami. Wajahku mengeras, mataku memejam, kelam menyergap, begitu gelap.
* * *
Ingatanku jatuh di sebuah gubuk di desa miskin nun jauh di ujung hamparan sawah Dusun Tumpak di daerah Plelen, Jawa Tengah, tempat tinggal seorang mak dengan empat anak yang masih kecil-kecil. Aku tak mengerti kenapa aku ada di sana, aku juga tak sempat bertanya untuk apa aku ada di tengah empat anak dan seorang ibu dengan wajah pucat tak berdaya itu. Yang jelas, aku benar-benar merasa sedang berada di sana, di tengah mak dan empat anak-anaknya yang masih kecil, yang saat itu mengalami derita yang mengiris-iris.
"Maaak... lapaaar...!" Tiba-tiba aku dikejutkan suara kecil lemah memelas seperti pernah kudengar, persis di belakangku, nyata sekali, di sudut gubuk itu. "Maaak...." Aku ternanar, cepat memutar badan dan menoleh ke arah suara. Wajah itu, dengan mata yang sayu seperti lampu teplok kehabisan minyak, memandang ke arahku. Aku benar-benar terpana, benar! Sorotan matanya itu! Wajahnya kemudian menunduk, pelan badannya merebah di lantai tanah gubuk apak, meringkuk, lalu kedua tangannya beringsut menarik kedua lututnya hingga mendekap. "Maaak...," suaranya memelas lalu diam.
Aku buru-buru mendekat, memegang tubuhnya, tanganku terus ke lehernya, meyakinkan diri. Aku takut sekali, sesuatu yang tak tepermanai akankah aku alami? Gadis kecil ini berpulang di hadapanku karena kelaparan. Ya Allah...
Namun, pelan mata gadis kecil itu membuka lagi, wajahnya menoleh ke arahku, menatapku lagi dengan wajah derita. Bibirnya gemetar. Oh... dia benar-benar kelaparan dan sedang berusaha menyesuaikan diri agar lapar tidak terus menggelepar di dalam dirinya yang kecil dan lembut. Aku kemudian mengangkatnya dengan kedua tanganku, mendekapnya. Malam terus mendingin. Angin kemarau malam menebar derita yang kejam.
* * *
Siang itu, di gubuk reot mak, ramai oleh suara anak-anaknya yang ceria. Di tengah riuh itu terdengar suara orang menambah lagi kue dengan bangga. Gadis kecil tampak senang, amat kontras dengan semalam. Dan di tangannya kini tergenggam sepotong donat dengan bekas gigitannya. Sekali-sekali ia memandang lagi kue yang tampak asing baginya, tapi tampak benar-benar membuatnya senang.
"Terima kasih ya Nak Prangki..." Aku mendengar suara mak di depan gubuk, di atas bale bambu. Rupanya pagi itu keluarga gadis kecil kedatangan seseorang, tamu dari kota, yang sebenarnya berasal dari desa gadis kecil.
"Oh, sama-sama, Mak... Ini tidak seberapa... ala kadarnya, dari kota..." Franky membalas Mak percaya diri serasa pamer.
"Eh ngomong-ngomong, anak Mak ada berapa...," Franky tiba-tiba bertanya yang cukup membuat mak kaget. Soalnya, ini perhatian yang amat mewah bagi mak. Mak merasa ada sesuatu yang menggeliat di dalam hatinya.
"Tuu...juh, Nak Prangki, dua putra lima putri...." Dengan menyebut jumlah anaknya mak telah memancangkan sinyal minta pertolongan.
"Kok banyak benar Mak, zaman sudah modern begini..." Enteng.
"Yaah... Tuhan ngasih terus....," kata Mak pelan, tampak malu. Tapi kemudian tak acuh, melanjutkan dengan kata-kata dibuat bijak. "Yoo... ini titipan Tuhan, yoo harus diterima saj..ja... to... Nak Prangki."
Franky hanya tersenyum, lalu mengangkat satu kakinya ke atas bale, menopangkan sikunya di situ. Matanya menatap cukup lama ke arah gadis kecil.
"Anak-anak Mak masih sekolah...." Mak kaget ditanya begitu. Dia tidak menyangka ditanya hal yang lebih baik dia lupakan mengingat kesusahan yang dia alami. Tapi, harapannya yang tadi menggeliat mendapat pupuk yang membuatnya cepat membesar.
"Tinggal si Darsih," kata Mak menyebut si gadis kecil, mencoba mengingkari pergolakan di dalam dirinya. "Tapi sudah sejak tiga bulan lalu tidak sekolah. Ia malu katanya terus ditagih bayaran oleh gurunya..."
"Ditagih opo, Mak... kan sud..."
"Sudah gratis! Gratis opo Nak Prangki..."
Tiba-tiba gadis menghambur ke arah mak. "Iya Mak, bayarlah Mak bayaran Darsih, Darsih mau sekolah...," katanya merengek. Ia tampak benar-benar berharap keinginannya sekolah dapat dikabulkan. Wajah polos dan suci gadis kecil begitu cepat melupakan deritanya semalam. Ia memang belum paham kondisi keluarganya. Maklum anak-anak.
Si mak menatap si gadis kecil dengan sedih. Matanya kemudian tampak berkaca-kaca, ia lalu tertunduk. Tiba-tiba mak mengangkat wajahnya dan memandang ke Franky sebentar, seolah ingin melihat respons atas sinyal mohon pertolongan yang sudah dilepasnya tadi.
"Oh itu gampang Mak, bera..." kata Franky cepat seperti merespons kegundahan Mak.
"Eh... ndak usah to Nak Prangki," cepat Mak menyela merasa malu--ciri orang timur.
"Oo ndak pa-pa to Mak..."
Si gadis kecil bangkit ke arah Mak dan menyender manja. Wajahnya berseri-seri. "Darsih bisa sekolah ya Mak, ya Mak...." Adik-adiknya ikut mendekat. Mereka bergelendotan di tubuh mak yang kurus.
Namun Mak diam tanpa ekspresi. Hanya kesedihan membayang di wajahnya. Ia lalu merangkul pelan anak-anaknya, memandanginya dengan kasih sayang berwarna duka.
Mak sadar sekolah penting bagi anak-anaknya, meski ia tak pernah sekolah hingga ia tak bisa membaca. Mak benar-benar telah merasakan betapa kebodohan mencengkram dirinya lantaran tak sekolah hingga tak bisa hanya sekadar menuliskan namanya sendiri. Ke mana-mana ia digandoli oleh rasa tidak bisa. Mak akhirnya tampak menerawang.
Ingatannya mengembara, lalu jatuh pada anak sulungnya, Joko Sulung, yang kini jadi buruh tani, yang untuk dirinya saja kekurangan. Lalu mak ingat anak keduanya, Teguh, tak jauh berbeda. Konon pergi ke kota dan menjadi pedagang asongan. Mak sekali-sekali memimpikan anak keduanya ini mengirimkan uang barang seratus ribu kepadanya. Dulu sekali Teguh pernah mengirim, senangnya mak tak kepalang. Itulah sebabnya Mak terus berharap, walau tak pernah lagi.
Yang ketiga tak ada kabarnya setelah minta izin ikut orang kota menjadi pembantu di Jakarta. Mak berurai air mata waktu melepas anak gadisnya yang berwajah cukup menarik ini. Begitu menariknya rupa putrinya ini, mak sampai pernah berkhayal dapat menantu orang berada di kampungnya. Namun, khayalan itu sirna bersama perginya sang gadis ke "kota penuh harapan".
Darsih dan tiga adiknya masih di gubuk di bawah lindungan mak yang sebenarnya juga perlu perlindungan si bapak yang tiba-tiba berpulang belum lama lalu. Kata dokter puskesmas, si Bapak sakit karena kurang gizi. Kata mak, sang bapak sering mengalah agar anak-anaknya bisa makan.
* * *
"Okelah Mak, kalau begitu, saya pergi dulu," si Franky tiba-tiba minta diri.
Di kampung itu Franky dikenal sebagai pemilik berbagai usaha di Jakarta. Tapi tak ada yang tahu usaha apa yang dibosinya. Namun setiap dia pulang kampung, dia selalu membagi-bagikan uang. Dan ketika kembali ke kota, ia selalu membawa warga kampung yang katanya untuk diajak bekerja di perusahaannya.
"Eh kok buru-buru Nak Prangki," cepat Mak bangkit memburu ke arah Franky. "Ya ndak ada yang dapat Mak suguhkan ya...."
"Oo ndak usah repot-repot to Mak, biasa aj-ja...," kata Franky sambil belangkah.
Tapi Franky berbalik ketika mak memburunya. Mak juga mendekat dengan kikuk, seperti menghendaki sesuatu. Mak lalu memandang ke si gadis kecil, menoleh lagi ke Franky tanpa berkata selain kikuknya tak kepalang.
"Oh ya, Mak, ha ha ha...." Franky merogoh kantong belakangnya, menarik dompet dan membukanya. Dia lalu membalik-balik lembaran lima puluh ribuan. Mata mak terbelalak. Sudah begitu lama dia tidak melihat lembaran-lembaran sebesar itu, apalagi dimilikinya.
Mak terus memandang jari-jari Franky membolak-balik lembaran lima puluhan ribu itu. Tapi Franky tak kunjung menarik keluar barang selembar pun. Bahkan ia kembali memasukkan dompet itu ke sakunya. Franky lalu mendekat ke arah mak dan menatap mata mak dalam-dalam. Mak kebingungan dan amat kecewa.
"Mmmm eh... itu gampang Mak. Saya bisa membayar semua biaya sekolah Darsih, tapi..."
"Tapi... tapi apa to, Mas Prangki...." Mak tampak sekali tak paham dan bingung, sampai-sampai menyebut Prangki dengan Mas Prangki.
"Begini Mak, bagaimana kalau Darsih... kalaaau... saya... bawa ke Jakarta...."
"Ooo..." Mak pucat. Ia mundur, berbalik terus melangkah kuyu... lalu terduduk lemas. Tampak harapan yang tadinya tumbuh di dalam dirinya menguap tiba-tiba. Ia bahkan tampak sekali berubah kecewa dan takut, walau menutup-nutupinya--hal yang sering dialami orang kecil: harapan yang mudah tumbuh, tapi lebih sering terhempas tanpa perlu alasan.
"Begini, Mak... saya ada kerjaan anak-anak, tidak berat, ya... sambil main-mainlah, nyanyi-nyanyi, tapi dapat duit lumayan...." Mak tampak memaksakan diri untuk tertarik ucapan Franky.
"Saya rasa adik-adik Darsih bisa sekolah sementara kakaknya bekerja sambil bersenang-senang sama saya. Mak nggak usah khawatir, akan saya jaga Darsih. Sekadar Mak Tahu saja, nih, nggak ada yang berani sama saya di kota," kata Franky. "Anak Mak aman, saya jamin!"
Ia kemudian duduk di samping Mak yang terpana. "Ini bisa juga terserah Darsih, Mak. Kalau Darsih nggak betah, bisa pulang. Saya sendiri yang mengantar pulang, Mak. Kalau suka, ya bisa terus... ya kan?" Perlahan Mak tampak tertarik. Harapannya kembali terusik.
"Tapi ya... semua terserah Mak," kata Franky sambil bergerak berdiri, jual mahal, seperti sering dia lakukan. Mak memandangi gerak punggung Franky. Ada yang tumbuh di dalam diri mak lagi. Ia juga spontan hendak berdiri. Gadis kecil memandang heran di dekat tiga adiknya yang acuh asik bermain tanah.
Tapi dalam berdirinya mak hanya terpaku. Ada pergolakan hebat terjadi di dalam dirinya: antara harapan dan rasa kasihan atas anak perempuannya yang masih kecil juga membuyut. Oh, akankah dunia gadis kecil segera berganti dengan dunia kerja yang keras dan kejam tanpa ampun.
"Mak... Darsih bisa sekolah ya Mak," si gadis kecil menyela. "Di sekolah banyak teman, Mak, kami belajar, bermain tali. Darsih selalu menang lo Mak, soalnya Darsih bisa sampai saratus... Pak guru baik... kalau pe-er Darsih salah, Pak Guru nggak marah, dikasih tahu aja..."
Mak mematung. Air matanya meleleh. Aku terpana. Dan ada yang bergulir di pipiku. Deru gas mobil tiba-tiba bersahut-sahutan, mengagetkanku.
"Tu.. tu... lihat tu, Zal...." Tiba-tiba temanku berseru sambil menunjuk sekilas ke sudut warteg di seberang jalan. Aku kaget. Ternyata aku masih di mobil temanku di lampu merah Tol Timur Bekasi. Buru-buru kuseka pipiku. Untungnya saat itu malam sehingga gelap, yang membuat temanku ta tahu aku menggulirkan air mata.
Di seberang jalan, di samping warteg agak gelap, tampak membayang duduk tiga lelaki sangar. Di depannya, di atas bangku panjang reot, tampak bayangan tiga botol dan beberapa gelas berserakan. Satu-satu pengamen mendekat dan pergi dari sana. Tiba-tiba darahku tersirap, jantungku berhenti berdetak. Sekilas kulihat gadis kecil menjauh dari sana. Wajahnya, dukanya, memelasnya itu... Diakah gadis kecil Mak?***
Jalan Bangka, 21 Maret 2007
Wajah dingin dan kesal temanku makin kuat manakala gadis kecil terus memainkan kecreknya dengan lagu dangdut rupa-rupa, dengan suara lemah. Dan memang, jangankan keindahan yang terdengar, justru nada sumbang yang berkencrengan.
"Ngapaain... ada tu.. yang mengomandoi," pelan, terdengar temanku yang berwajah dingin kesal bergumam. Mendengar itu, satu sudut hatiku langsung protes. Namun, itu hanya suara salah satu sudut hatiku yang lemah. Dan sudut-sudut hatiku yang lain mendiamkan komentar temanku yang saklek, bahkan cederung menyetujuinya. "Iya... uang yang kita berikan bukan untuk dia!" Konyol, aku menyetujui temanku.
Berkali-kali temanku melambai lagi, hingga akhirnya gadis kecil berbadan ringkih yang mencoba bertahan akhirnya berbalik pelan dan pergi membawa kecewa setelah beberapa saat sempat merapatkan wajahnya ke kaca jendela sembil memagarinya dengan kedua telapak tangannya, seolah meneropong kami di dalam yang kesal, cukup lama--yang membuat temanku benar-benar kesal.
Namun, dalam kepergian itu si gadis kecil sempat menoleh (seolah) memandang kami sebentar--dan berkata entah apa--tanpa menghentikan langkahnya. Duummm! Saat itulah wajah itu, kekecewaan itu, kesedihan itu, tambak bagiku begitu memelas, dan serasa tak asing, bagai pernah kukenal.
Aneh, di wajah itu kurasakan ketakutan. Bukan kesal, bukan pula mengumpat sebagaimana sempat kukira tadi. Pelan-pelan hatiku ciut, mendingin seperti dirasuki uap es ke seluruh relungnya. Dan perasaan cemas menyergap. Jangan-jangaan....
Air bah penyesalan tiba-tiba menghantamku, atas apa yang aku tidak lakukan: sekadar melemparkan recehan yang sebenarnya tak banyak artinya bagi kami. Wajahku mengeras, mataku memejam, kelam menyergap, begitu gelap.
* * *
Ingatanku jatuh di sebuah gubuk di desa miskin nun jauh di ujung hamparan sawah Dusun Tumpak di daerah Plelen, Jawa Tengah, tempat tinggal seorang mak dengan empat anak yang masih kecil-kecil. Aku tak mengerti kenapa aku ada di sana, aku juga tak sempat bertanya untuk apa aku ada di tengah empat anak dan seorang ibu dengan wajah pucat tak berdaya itu. Yang jelas, aku benar-benar merasa sedang berada di sana, di tengah mak dan empat anak-anaknya yang masih kecil, yang saat itu mengalami derita yang mengiris-iris.
"Maaak... lapaaar...!" Tiba-tiba aku dikejutkan suara kecil lemah memelas seperti pernah kudengar, persis di belakangku, nyata sekali, di sudut gubuk itu. "Maaak...." Aku ternanar, cepat memutar badan dan menoleh ke arah suara. Wajah itu, dengan mata yang sayu seperti lampu teplok kehabisan minyak, memandang ke arahku. Aku benar-benar terpana, benar! Sorotan matanya itu! Wajahnya kemudian menunduk, pelan badannya merebah di lantai tanah gubuk apak, meringkuk, lalu kedua tangannya beringsut menarik kedua lututnya hingga mendekap. "Maaak...," suaranya memelas lalu diam.
Aku buru-buru mendekat, memegang tubuhnya, tanganku terus ke lehernya, meyakinkan diri. Aku takut sekali, sesuatu yang tak tepermanai akankah aku alami? Gadis kecil ini berpulang di hadapanku karena kelaparan. Ya Allah...
Namun, pelan mata gadis kecil itu membuka lagi, wajahnya menoleh ke arahku, menatapku lagi dengan wajah derita. Bibirnya gemetar. Oh... dia benar-benar kelaparan dan sedang berusaha menyesuaikan diri agar lapar tidak terus menggelepar di dalam dirinya yang kecil dan lembut. Aku kemudian mengangkatnya dengan kedua tanganku, mendekapnya. Malam terus mendingin. Angin kemarau malam menebar derita yang kejam.
* * *
Siang itu, di gubuk reot mak, ramai oleh suara anak-anaknya yang ceria. Di tengah riuh itu terdengar suara orang menambah lagi kue dengan bangga. Gadis kecil tampak senang, amat kontras dengan semalam. Dan di tangannya kini tergenggam sepotong donat dengan bekas gigitannya. Sekali-sekali ia memandang lagi kue yang tampak asing baginya, tapi tampak benar-benar membuatnya senang.
"Terima kasih ya Nak Prangki..." Aku mendengar suara mak di depan gubuk, di atas bale bambu. Rupanya pagi itu keluarga gadis kecil kedatangan seseorang, tamu dari kota, yang sebenarnya berasal dari desa gadis kecil.
"Oh, sama-sama, Mak... Ini tidak seberapa... ala kadarnya, dari kota..." Franky membalas Mak percaya diri serasa pamer.
"Eh ngomong-ngomong, anak Mak ada berapa...," Franky tiba-tiba bertanya yang cukup membuat mak kaget. Soalnya, ini perhatian yang amat mewah bagi mak. Mak merasa ada sesuatu yang menggeliat di dalam hatinya.
"Tuu...juh, Nak Prangki, dua putra lima putri...." Dengan menyebut jumlah anaknya mak telah memancangkan sinyal minta pertolongan.
"Kok banyak benar Mak, zaman sudah modern begini..." Enteng.
"Yaah... Tuhan ngasih terus....," kata Mak pelan, tampak malu. Tapi kemudian tak acuh, melanjutkan dengan kata-kata dibuat bijak. "Yoo... ini titipan Tuhan, yoo harus diterima saj..ja... to... Nak Prangki."
Franky hanya tersenyum, lalu mengangkat satu kakinya ke atas bale, menopangkan sikunya di situ. Matanya menatap cukup lama ke arah gadis kecil.
"Anak-anak Mak masih sekolah...." Mak kaget ditanya begitu. Dia tidak menyangka ditanya hal yang lebih baik dia lupakan mengingat kesusahan yang dia alami. Tapi, harapannya yang tadi menggeliat mendapat pupuk yang membuatnya cepat membesar.
"Tinggal si Darsih," kata Mak menyebut si gadis kecil, mencoba mengingkari pergolakan di dalam dirinya. "Tapi sudah sejak tiga bulan lalu tidak sekolah. Ia malu katanya terus ditagih bayaran oleh gurunya..."
"Ditagih opo, Mak... kan sud..."
"Sudah gratis! Gratis opo Nak Prangki..."
Tiba-tiba gadis menghambur ke arah mak. "Iya Mak, bayarlah Mak bayaran Darsih, Darsih mau sekolah...," katanya merengek. Ia tampak benar-benar berharap keinginannya sekolah dapat dikabulkan. Wajah polos dan suci gadis kecil begitu cepat melupakan deritanya semalam. Ia memang belum paham kondisi keluarganya. Maklum anak-anak.
Si mak menatap si gadis kecil dengan sedih. Matanya kemudian tampak berkaca-kaca, ia lalu tertunduk. Tiba-tiba mak mengangkat wajahnya dan memandang ke Franky sebentar, seolah ingin melihat respons atas sinyal mohon pertolongan yang sudah dilepasnya tadi.
"Oh itu gampang Mak, bera..." kata Franky cepat seperti merespons kegundahan Mak.
"Eh... ndak usah to Nak Prangki," cepat Mak menyela merasa malu--ciri orang timur.
"Oo ndak pa-pa to Mak..."
Si gadis kecil bangkit ke arah Mak dan menyender manja. Wajahnya berseri-seri. "Darsih bisa sekolah ya Mak, ya Mak...." Adik-adiknya ikut mendekat. Mereka bergelendotan di tubuh mak yang kurus.
Namun Mak diam tanpa ekspresi. Hanya kesedihan membayang di wajahnya. Ia lalu merangkul pelan anak-anaknya, memandanginya dengan kasih sayang berwarna duka.
Mak sadar sekolah penting bagi anak-anaknya, meski ia tak pernah sekolah hingga ia tak bisa membaca. Mak benar-benar telah merasakan betapa kebodohan mencengkram dirinya lantaran tak sekolah hingga tak bisa hanya sekadar menuliskan namanya sendiri. Ke mana-mana ia digandoli oleh rasa tidak bisa. Mak akhirnya tampak menerawang.
Ingatannya mengembara, lalu jatuh pada anak sulungnya, Joko Sulung, yang kini jadi buruh tani, yang untuk dirinya saja kekurangan. Lalu mak ingat anak keduanya, Teguh, tak jauh berbeda. Konon pergi ke kota dan menjadi pedagang asongan. Mak sekali-sekali memimpikan anak keduanya ini mengirimkan uang barang seratus ribu kepadanya. Dulu sekali Teguh pernah mengirim, senangnya mak tak kepalang. Itulah sebabnya Mak terus berharap, walau tak pernah lagi.
Yang ketiga tak ada kabarnya setelah minta izin ikut orang kota menjadi pembantu di Jakarta. Mak berurai air mata waktu melepas anak gadisnya yang berwajah cukup menarik ini. Begitu menariknya rupa putrinya ini, mak sampai pernah berkhayal dapat menantu orang berada di kampungnya. Namun, khayalan itu sirna bersama perginya sang gadis ke "kota penuh harapan".
Darsih dan tiga adiknya masih di gubuk di bawah lindungan mak yang sebenarnya juga perlu perlindungan si bapak yang tiba-tiba berpulang belum lama lalu. Kata dokter puskesmas, si Bapak sakit karena kurang gizi. Kata mak, sang bapak sering mengalah agar anak-anaknya bisa makan.
* * *
"Okelah Mak, kalau begitu, saya pergi dulu," si Franky tiba-tiba minta diri.
Di kampung itu Franky dikenal sebagai pemilik berbagai usaha di Jakarta. Tapi tak ada yang tahu usaha apa yang dibosinya. Namun setiap dia pulang kampung, dia selalu membagi-bagikan uang. Dan ketika kembali ke kota, ia selalu membawa warga kampung yang katanya untuk diajak bekerja di perusahaannya.
"Eh kok buru-buru Nak Prangki," cepat Mak bangkit memburu ke arah Franky. "Ya ndak ada yang dapat Mak suguhkan ya...."
"Oo ndak usah repot-repot to Mak, biasa aj-ja...," kata Franky sambil belangkah.
Tapi Franky berbalik ketika mak memburunya. Mak juga mendekat dengan kikuk, seperti menghendaki sesuatu. Mak lalu memandang ke si gadis kecil, menoleh lagi ke Franky tanpa berkata selain kikuknya tak kepalang.
"Oh ya, Mak, ha ha ha...." Franky merogoh kantong belakangnya, menarik dompet dan membukanya. Dia lalu membalik-balik lembaran lima puluh ribuan. Mata mak terbelalak. Sudah begitu lama dia tidak melihat lembaran-lembaran sebesar itu, apalagi dimilikinya.
Mak terus memandang jari-jari Franky membolak-balik lembaran lima puluhan ribu itu. Tapi Franky tak kunjung menarik keluar barang selembar pun. Bahkan ia kembali memasukkan dompet itu ke sakunya. Franky lalu mendekat ke arah mak dan menatap mata mak dalam-dalam. Mak kebingungan dan amat kecewa.
"Mmmm eh... itu gampang Mak. Saya bisa membayar semua biaya sekolah Darsih, tapi..."
"Tapi... tapi apa to, Mas Prangki...." Mak tampak sekali tak paham dan bingung, sampai-sampai menyebut Prangki dengan Mas Prangki.
"Begini Mak, bagaimana kalau Darsih... kalaaau... saya... bawa ke Jakarta...."
"Ooo..." Mak pucat. Ia mundur, berbalik terus melangkah kuyu... lalu terduduk lemas. Tampak harapan yang tadinya tumbuh di dalam dirinya menguap tiba-tiba. Ia bahkan tampak sekali berubah kecewa dan takut, walau menutup-nutupinya--hal yang sering dialami orang kecil: harapan yang mudah tumbuh, tapi lebih sering terhempas tanpa perlu alasan.
"Begini, Mak... saya ada kerjaan anak-anak, tidak berat, ya... sambil main-mainlah, nyanyi-nyanyi, tapi dapat duit lumayan...." Mak tampak memaksakan diri untuk tertarik ucapan Franky.
"Saya rasa adik-adik Darsih bisa sekolah sementara kakaknya bekerja sambil bersenang-senang sama saya. Mak nggak usah khawatir, akan saya jaga Darsih. Sekadar Mak Tahu saja, nih, nggak ada yang berani sama saya di kota," kata Franky. "Anak Mak aman, saya jamin!"
Ia kemudian duduk di samping Mak yang terpana. "Ini bisa juga terserah Darsih, Mak. Kalau Darsih nggak betah, bisa pulang. Saya sendiri yang mengantar pulang, Mak. Kalau suka, ya bisa terus... ya kan?" Perlahan Mak tampak tertarik. Harapannya kembali terusik.
"Tapi ya... semua terserah Mak," kata Franky sambil bergerak berdiri, jual mahal, seperti sering dia lakukan. Mak memandangi gerak punggung Franky. Ada yang tumbuh di dalam diri mak lagi. Ia juga spontan hendak berdiri. Gadis kecil memandang heran di dekat tiga adiknya yang acuh asik bermain tanah.
Tapi dalam berdirinya mak hanya terpaku. Ada pergolakan hebat terjadi di dalam dirinya: antara harapan dan rasa kasihan atas anak perempuannya yang masih kecil juga membuyut. Oh, akankah dunia gadis kecil segera berganti dengan dunia kerja yang keras dan kejam tanpa ampun.
"Mak... Darsih bisa sekolah ya Mak," si gadis kecil menyela. "Di sekolah banyak teman, Mak, kami belajar, bermain tali. Darsih selalu menang lo Mak, soalnya Darsih bisa sampai saratus... Pak guru baik... kalau pe-er Darsih salah, Pak Guru nggak marah, dikasih tahu aja..."
Mak mematung. Air matanya meleleh. Aku terpana. Dan ada yang bergulir di pipiku. Deru gas mobil tiba-tiba bersahut-sahutan, mengagetkanku.
"Tu.. tu... lihat tu, Zal...." Tiba-tiba temanku berseru sambil menunjuk sekilas ke sudut warteg di seberang jalan. Aku kaget. Ternyata aku masih di mobil temanku di lampu merah Tol Timur Bekasi. Buru-buru kuseka pipiku. Untungnya saat itu malam sehingga gelap, yang membuat temanku ta tahu aku menggulirkan air mata.
Di seberang jalan, di samping warteg agak gelap, tampak membayang duduk tiga lelaki sangar. Di depannya, di atas bangku panjang reot, tampak bayangan tiga botol dan beberapa gelas berserakan. Satu-satu pengamen mendekat dan pergi dari sana. Tiba-tiba darahku tersirap, jantungku berhenti berdetak. Sekilas kulihat gadis kecil menjauh dari sana. Wajahnya, dukanya, memelasnya itu... Diakah gadis kecil Mak?***
Jalan Bangka, 21 Maret 2007
No comments:
Post a Comment